Oleh ; A.
Retnoriani, Psikolog, RSJ Daerah Provinsi Lampung
Pernahkah kita memperhatikan bahwa publikasi di media lebih didominasi
berita menakutkan, mengerikan, penuh “disaster”
dibanding dengan hal-hal terpuji yang dilakukan oleh seseorang? Bukankah
kitapun menikmati berita yang cenderung menonjolkan kejelekan individu? Di
tempat kerjapun, sadar tidak sadar kita kerap menyuburkan budaya yang tidak
apresiatif, misalnya saja gosip, saling menyalahkan atau tidak berterus terang.
Berita penghargaan, keberhasilan, kerja keras tidak terdengar karena
dikalahkan oleh berita kecurangan, kelemahan & kemalasan. Meskipun kita
sendiri sering merasa lelah, kesal, sedih bahkan marah setelah mendengar hal-hal
negatif, tetapi disisi lain kitapun tidak secara sengaja menghindari hal-hal yang
negatif. Informasi memang perlu dikejar untuk memperkuat dasar untuk bertindak,
tetapi kita tidak boleh lepas dari fokus tanggung jawab dan kesadaran untuk
selalu memoles profesionalisme diri.
Kita bisa menilai sendiri seberapa sering menyalahkan orang yang sedang
tidak hadir di suatu pertemuan bila ada kejadian yang tidak menyenangkan.
Banyak atasan yang hanya melihat sisi ‘salah’ dari anak buah sehingga
hanya berkomunikasi dengan anak buah jika ada yang tidak beres. Di sisi lain,
tak jarang atasan menganggap bahwa prestasi bagus anak buah adalah keadaan yang
wajar dan sudah semestinya, sehingga tidak perlu dipuji. Bayangkan suasana
kerja bila seorang atasan cenderung men-complain
kesalahan anak buah, sementara lupa memberi komentar ketika seseorang bisa
berpikir kreatif pada saat orang lain sudah menghadapi jalan buntu?
Pernahkah kita benar-benar memikirkan
bahayanya bila sebuah tim atau lingkungan sosial, partai, perusahaan atau
bahkan negara, mempunyai pola pikir pesimis negatif dan tidak segar? Bisakah
individu memiliki kinerja yang optimal apabila sering merasa tidak berdaya,
tertekan, dan terus menerus memikirkan kelemahan serta kekurangan yang ada?
Bagaimana perasaan orang atau lembaga lain yang harus berhubungan dengan
komunitas seperti ini? Kita sendiri sebetulnya bisa merasakan bahwa lingkungan
kerja yang menyenangkan dan saling menghargai akan memberi kekuatan,
peningkatan produktifitas, laba, kepuasan karyawan dan pelanggan. Di sebuah
kantor, bertegur sapa seakan sudah menjadi aturan tidak tertulis yang dilakukan
oleh semua orang di semua level jabatan
Ada juga tempat kerja yang setiap orang otomatis mengucapkan terima kasih kepada kolega yang memberi bantuan, bahkan utk hal yang kecil sekalipun. Sikap peduli teman kerja ini tanpa disadari memiliki ‘harga’ tertentu yang tidak bisa dinilai dengan uang tetapi justru nyata-nyata meningkatkan bisnis perusahaan. Bila sikap dan tindakan ini dilakukan oleh seseorang secara konsisten, bahkan saat pimpinannya tidak ada, hal ini bisa dikatakan menjadi ‘budaya’ di lingkungan tersebut. Saat pimpinan dan atasan sadar akan kekuatan yang ada dibalik sikap dan kebiasaan manusia, secara serius menumbuhkan kebiasaan positif & apresiatif, peningkatan produktivitas kerja tentu bukan hal mustahil dicapai.
Bergulir Tanpa Paksaan
Dalam suatu pelatihan,
beberapa peserta semula tidak percaya bahwa segala sikap dan perilaku dapat
ditumbuhkan dengan apresiasi. Tidak perlu kritik berlebihan atau bicara
negatif, mungkin dengan mengatakan “Kita
hanya perlu jeli menunggu orang berbuat sesuatu yang bisa dipuji” orang
lain yang hadir otomatis akan mencari perilaku apa yang patut dan bisa diterima
oleh atasan sehingga berusaha untuk melakukan hal tersebut. Perilaku positif
akan bergulir dengan sendirinya. Oleh karena itu, pimpinan perlu sadar
kebiasaan apa yang ingin ditumbuhkan. Saat tingkah laku, sikap dan suasana
kerja kerja terjadi secara otomatis tanpa paksaan atau aturan, kita akan bisa
melihat budaya organisasi tersebut sudah merupakan aset lingkungan sosial.
Di Southwest Airlines, satu-satunya airlines (maskapai penerbangan) yang bertahan pada waktu krisis,
manajemen memang secara sengaja mengembangkan kebiasaan menanyakan pertanyaan-pertanyaan
apresiatif. Mereka tidak secara berlebihan menganalisis kekurangan, kelemahan
& kondisi krisis yang menekan, tetapi dalam rapat mereka fokus pada
pertanyaan;’what works, what matters,
what adds value, what makes a difference?’ (apa yang bisabekerja, apa yang
bermasalah, apa yang menambah nilai, dan apa yang membuat perbedaan). Dengan pendekatan ini, perusahaan memperoleh tambahan energi yang luar
biasa. Karyawan menjadi lebih mudah mengombinasikan berbagai kekuatan yang
dimiliki. Karyawan bisa lebih mudah merealisasikan sikap yang berfokus pada
pelanggan, setia kawan dalam membantu rekan, bahkan juga kreativitas utk
menemukan proses bisnis yang lebih efisien.
Memilih Untuk
Menghidupkan Semangat
Pernyataan pertama
merangsang naluri kehidupan, sementara pernyataan selanjutnya lebih dekat pada
kegagalan dan mematikan semangat. Kita bisa melihat bahwa cara bicara kita
sangat menentukan arah semangat orang di sekitar kita. Tidak pelak lagi, kita
memang perlu mengembangkan budaya apresiatif di lingkungan kita. Kita bisa
mulai dengan memikirkan perilaku atau situasi apa yang pantas mendapat pujian dan
apresiasi? Kita perlu bisa menggambarkan “point”
terpenting dari sikap atau perilaku tersebut dan bagaimana perilaku tersebut
menguntungkan perusahaan.
Hal-hal inilah yang kita kemas sehingga bisa berdampak dan berpengaruh di rapat atau pertemuan
lain sehingga memungkinkan semua orang membayangkan kesuksesan. Kata-kata
positif, seperti bangga dan happy
perlu diikutsertakan untuk membangkitkan energi. Bila hal ini dilakukan dengan
jitu dalam dialog-dialog yang kontinu & dianggap sebagai suatu entitas yang
hidup, budaya akan bersinergi dengan inovasi dan tumbuhnya bisnis.
Ayo………….sebutkan hal-hal positif yang membanggakan yang bisa dilakukan
kita