Mengembangkan Budaya Apresiatif

  • 04:05 WIB
  • 28 July 2023
  • Humas
  • Dilihat 713 kali
Mengembangkan Budaya Apresiatif

Oleh ; A. Retnoriani, Psikolog, RSJ Daerah Provinsi Lampung

Pernahkah kita memperhatikan bahwa publikasi di media lebih didominasi berita menakutkan, mengerikan, penuh “disaster” dibanding dengan hal-hal terpuji yang dilakukan oleh seseorang? Bukankah kitapun menikmati berita yang cenderung menonjolkan kejelekan individu? Di tempat kerjapun, sadar tidak sadar kita kerap menyuburkan budaya yang tidak apresiatif, misalnya saja gosip, saling menyalahkan atau tidak berterus terang.         

Berita penghargaan, keberhasilan, kerja keras tidak terdengar karena dikalahkan oleh berita kecurangan, kelemahan & kemalasan. Meskipun kita sendiri sering merasa lelah, kesal, sedih bahkan marah setelah mendengar hal-hal negatif, tetapi disisi lain kitapun tidak secara sengaja menghindari hal-hal yang negatif. Informasi memang perlu dikejar untuk memperkuat dasar untuk bertindak, tetapi kita tidak boleh lepas dari fokus tanggung jawab dan kesadaran untuk selalu memoles profesionalisme diri.  Kita bisa menilai sendiri seberapa sering menyalahkan orang yang sedang tidak hadir di suatu pertemuan bila ada kejadian yang tidak menyenangkan.

Banyak atasan yang hanya melihat sisi ‘salah’ dari anak buah sehingga hanya berkomunikasi dengan anak buah jika ada yang tidak beres. Di sisi lain, tak jarang atasan menganggap bahwa prestasi bagus anak buah adalah keadaan yang wajar dan sudah semestinya, sehingga tidak perlu dipuji. Bayangkan suasana kerja bila seorang atasan cenderung men-complain kesalahan anak buah, sementara lupa memberi komentar ketika seseorang bisa berpikir kreatif pada saat orang lain sudah menghadapi jalan buntu?

             Pernahkah kita benar-benar memikirkan bahayanya bila sebuah tim atau lingkungan sosial, partai, perusahaan atau bahkan negara, mempunyai pola pikir pesimis negatif dan tidak segar? Bisakah individu memiliki kinerja yang optimal apabila sering merasa tidak berdaya, tertekan, dan terus menerus memikirkan kelemahan serta kekurangan yang ada? Bagaimana perasaan orang atau lembaga lain yang harus berhubungan dengan komunitas seperti ini? Kita sendiri sebetulnya bisa merasakan bahwa lingkungan kerja yang menyenangkan dan saling menghargai akan memberi kekuatan, peningkatan produktifitas, laba, kepuasan karyawan dan pelanggan. Di sebuah kantor, bertegur sapa seakan sudah menjadi aturan tidak tertulis yang dilakukan oleh semua orang di semua level jabatan

            Ada juga tempat kerja yang setiap orang otomatis mengucapkan terima kasih kepada kolega yang memberi bantuan, bahkan utk hal yang kecil sekalipun. Sikap peduli teman kerja ini tanpa disadari memiliki ‘harga’ tertentu yang tidak bisa dinilai dengan uang tetapi justru nyata-nyata meningkatkan bisnis perusahaan. Bila sikap dan tindakan ini dilakukan oleh seseorang secara konsisten, bahkan saat pimpinannya tidak ada, hal ini bisa dikatakan menjadi ‘budaya’ di lingkungan tersebut.  Saat pimpinan dan atasan sadar akan kekuatan yang ada dibalik sikap dan kebiasaan manusia, secara serius menumbuhkan kebiasaan positif & apresiatif, peningkatan produktivitas kerja tentu bukan hal mustahil dicapai. 

Bergulir Tanpa Paksaan

            Dalam suatu pelatihan, beberapa peserta semula tidak percaya bahwa segala sikap dan perilaku dapat ditumbuhkan dengan apresiasi. Tidak perlu kritik berlebihan atau bicara negatif, mungkin dengan mengatakan “Kita hanya perlu jeli menunggu orang berbuat sesuatu yang bisa dipuji” orang lain yang hadir otomatis akan mencari perilaku apa yang patut dan bisa diterima oleh atasan sehingga berusaha untuk melakukan hal tersebut. Perilaku positif akan bergulir dengan sendirinya. Oleh karena itu, pimpinan perlu sadar kebiasaan apa yang ingin ditumbuhkan. Saat tingkah laku, sikap dan suasana kerja kerja terjadi secara otomatis tanpa paksaan atau aturan, kita akan bisa melihat budaya organisasi tersebut sudah merupakan aset lingkungan sosial. 

            Di Southwest Airlines, satu-satunya airlines (maskapai penerbangan) yang bertahan pada waktu krisis, manajemen memang secara sengaja mengembangkan kebiasaan menanyakan pertanyaan-pertanyaan apresiatif. Mereka tidak secara berlebihan menganalisis kekurangan, kelemahan & kondisi krisis yang menekan, tetapi dalam rapat mereka fokus pada pertanyaan;’what works, what matters, what adds value, what makes a difference?’ (apa yang bisabekerja, apa yang bermasalah, apa yang menambah nilai, dan apa yang membuat perbedaan). Dengan pendekatan ini, perusahaan memperoleh tambahan energi yang luar biasa. Karyawan menjadi lebih mudah mengombinasikan berbagai kekuatan yang dimiliki. Karyawan bisa lebih mudah merealisasikan sikap yang berfokus pada pelanggan, setia kawan dalam membantu rekan, bahkan juga kreativitas utk menemukan proses bisnis yang lebih efisien.

Memilih Untuk Menghidupkan Semangat

            Pernyataan pertama merangsang naluri kehidupan, sementara pernyataan selanjutnya lebih dekat pada kegagalan dan mematikan semangat. Kita bisa melihat bahwa cara bicara kita sangat menentukan arah semangat orang di sekitar kita. Tidak pelak lagi, kita memang perlu mengembangkan budaya apresiatif di lingkungan kita. Kita bisa mulai dengan memikirkan perilaku atau situasi apa yang pantas mendapat pujian dan apresiasi? Kita perlu bisa menggambarkan “point” terpenting dari sikap atau perilaku tersebut dan bagaimana perilaku tersebut menguntungkan perusahaan.

Hal-hal inilah yang kita kemas sehingga bisa  berdampak dan berpengaruh di rapat atau pertemuan lain sehingga memungkinkan semua orang membayangkan kesuksesan. Kata-kata positif, seperti bangga dan happy perlu diikutsertakan untuk membangkitkan energi. Bila hal ini dilakukan dengan jitu dalam dialog-dialog yang kontinu & dianggap sebagai suatu entitas yang hidup, budaya akan bersinergi dengan inovasi dan tumbuhnya bisnis.

Ayo………….sebutkan hal-hal positif yang membanggakan yang bisa dilakukan kita